Gerimis itu tak kunjung reda. Ku perlambat langkahku untuk berlari, kurasakan setiap titik-titik hujan yang menerpaku. Kuhirup udara pagi yang semakin segar karena gerimis ikut menyejukkannya. Terlihat sekeliling pantai tampak sepi, tak seperti biasanya terlihat beberapa orang melakukan aktivitas pagi seperti jogging. Hanya aku yang masih melakukan aktivitas tersebut. Kembali aku menghentakkan kakiku, mencoba tak memperdulikan rasa lelah ini. Aku terus melangkah tanpa memperhatikan keringat yang bermunculan dari setiap pori kulitku. Kuhirup udara sesekali sedalam-dalamnya. Sungguh karya agung Tuhan, gumamku.
Tiba-tiba langkahku terhenti, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Kulihat seorang gadis dalam balutan jas hujan warna tosca. Kepalanya tertunduk menatap pasir serta riak air laut yang menyapu kakinya. Kudekati gadis itu, dalam jarak beberapa meter saja aku sudah dapat merasakan aroma tubuhnya. Sungguh wangi dan sedikit memabukkan sarafku. Rasa penasaran itu muncul seketika, ingin kulihat sosok itu lekat. Gadis itu terus terdiam seolah tak merespon adanya gerakan di sekitarnya. Ia terus menunduk menatap kakinya yang putih. Perlahan aku berdiri di sampingnya, kutatap gelombang laut yang bergulung hebat serta rintik hujan yang terus menguyur.
Sosok itu tetap dingin tak ada gerakan, tak ada suara, hanya diam. Kutatap ia lekat-lekat, wajahnya masih tertunduk tertutup rambutnya yang panjang lurus. Lima menit lamanya aku menunggu gadis itu meresponku, dan aku berhasil merasakannya. Terdengar sayu-sayu suara dari dirinya. Sealun siulan lirih yang kudengar dan tiba-tiba siulan itu menghilang berganti dengan isakan tangis. Kini tubuh gadis itu bergetar seolah ada getir pahit yang membuatnya menangis. Aku terus menatapnya, dan berusaha untuk menyentuhnya. Namun aku tak mampu menyentuhnya. Ada rasa yang menjeratku untuk mengabaikan keinginanku.
Kepala gadis itu tiba-tiba terangkat, aku dapat melihat matanya yang hitam bening. Gadis itu menatap hamparan laut di depannya, membiarkan setiap lelehan air matanya. Tetapi perhatianku ini tak dapat pernah terhenti dari wajah orientalnya. Aku terus menatapnya dan menatapnya tanpa geming yang mengganggu. Perlahan wajah itu bergerak kembali dan menatapku, aku tak terkejut sama sekali dengan gerakkan itu seolah aku pernah menemui gadis ini. Seolah aku pernah dekat dengan gadis ini. Rautnya semakin terlihat jelas, adanya kerinduan yang sangat menyedihkan. Tiba-tiba gadis itu menabrakku dan memelukku erat. Ia menangis sejadi-jadinya, aku mencoba menautkan tangannku pada dirinya. Seketika itu juga aku merasakan jalaran kehangatan tubuhnya. Aku merasakan menyatunya tubuhku dalam dirinya. Cukup lama ia menumpahkan kesedihannya. Sakit hati yang kronis yang meradang di hatinya.
“Maaf jika aku merepotkanmu.” Gadis itu membuka percakapan, perlahan ia melepaskan dekapannya. Begitupula denganku. “Tidak, kau tidak merepotkanku. Lebih baik begini, sehingga kau dapat menuangkan kesedihanmu dan aku tak merasa keberatan.” Aku tersenyum, gadis itu pun ikut tersenyum kepadaku. Wajahnya kini tak sendu lagi, ada gurat kebahagiaan dalam senyumnya. “Aku Raga!” Aku acungkan tanganku. Ia pun membalasnya, “Aku Yuri!” Nama oriental yang unik.
Begitulah awal kali pertama aku bertemu dengan Yuri, gadis blasteran antara Jawa dan Jepang. Nama Yuri sendiri memeliki arti salju. Memang tak pernah kupingkiri kecantikan Yuri yang lain daripada gadis oriental lainnya. Kulitnya putih senyumnya menggemaskan dengan aksen misterius dibalik matanya.
Hari beganti hari, di saat suasana yang sama di pagi yang penuh gerimis aku selalu bertemu dengan Yuri. Kami sering bercanda bersama, berlarian bekejaran bahkan tertawa terbahak-bahak bersama. Sungguh seperti sebuh rangkaian roman cinta film india. Tapi aku tak peduli, kebersamaan dengan Yurilah yang aku butuhkan. Hingga suatu saat …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar